Menelusuri Dinamika Gaya Hidup dan Politik di Era Digital: Dari Vegetarianisme hingga RUU TNI
Kemalangaja.com - Media digital seperti koranpagi menjadi sumber penting dalam menyampaikan beragam informasi yang mencerminkan dinamika masyarakat modern. Di tengah derasnya arus informasi dan perubahan sosial, isu-isu seperti gaya hidup sehat, tren fesyen, pergeseran media sosial, serta isu-isu politik kontemporer seperti revisi RUU TNI, menjadi cerminan dari bagaimana publik kini semakin sadar dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Artikel ini akan mengulas berbagai isu yang tengah menjadi sorotan, mulai dari kebiasaan makan vegetarian hingga perkembangan politik di Indonesia.
![]() |
Dinamika Gaya Hidup dan Politik di Era Digital |
Gaya Hidup Vegetarian: Antara Kesehatan dan Kesadaran Lingkungan
Salah satu tren gaya hidup yang semakin mendapat tempat
adalah vegetarianisme. Gaya hidup ini tidak hanya sekadar tentang menghindari
produk hewani, tetapi juga menjadi bagian dari kesadaran terhadap kesehatan dan
keberlanjutan lingkungan. Banyak penelitian menyebutkan bahwa diet berbasis
tanaman dapat membantu menurunkan risiko penyakit kronis seperti diabetes,
tekanan darah tinggi, dan obesitas.
Namun, menjalani gaya hidup vegetarian juga menuntut
pemahaman yang baik terhadap kebutuhan nutrisi. Tanpa perencanaan yang matang,
seseorang bisa mengalami kekurangan zat besi, vitamin B12, dan protein. Oleh
karena itu, edukasi gizi menjadi kunci agar manfaat vegetarianisme benar-benar
optimal dirasakan.
Tak hanya soal kesehatan, alasan etis dan ekologis juga
menjadi latar belakang kuat di balik pilihan ini. Produksi daging diketahui
menyumbang besar terhadap emisi gas rumah kaca dan penggunaan lahan. Maka dari
itu, menjadi vegetarian adalah bentuk kontribusi individu terhadap isu
perubahan iklim.
Quiet Luxury: Ketika Mewah Tak Lagi Harus Mencolok
Dalam dunia mode yang terus berevolusi, tahun 2025 menjadi
saksi naik daunnya tren quiet luxury. Berbeda dengan era sebelumnya yang
menonjolkan logo besar dan merek ternama, tren ini menekankan pada
kesederhanaan, kualitas, dan desain elegan tanpa perlu menunjukkan merek secara
eksplisit.
Fenomena quiet luxury dipicu oleh kejenuhan publik
terhadap konsumsi yang berlebihan. Generasi milenial dan Gen Z, terutama di
kalangan kelas menengah atas, mulai memilih busana yang lebih subtil dan
timeless. Mereka tidak lagi tertarik pada tampilan yang mencolok, melainkan
menghargai craftsmanship dan nilai di balik sebuah produk.
Tren ini juga merefleksikan pergeseran nilai di masyarakat:
bahwa status sosial tidak lagi ditentukan oleh seberapa besar logo yang
dikenakan, melainkan oleh pengetahuan, selera, dan kesadaran diri. Ini menjadi
cermin dari pergeseran paradigma konsumen di era modern.
Gen Z dan Media Sosial: Facebook Bukan Lagi Primadona?
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012,
menunjukkan perilaku media sosial yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya.
Mereka dikenal sebagai digital native, tumbuh bersama internet, dan sangat peka
terhadap tren serta perubahan teknologi.
Salah satu perubahan yang mencolok adalah berkurangnya minat
mereka terhadap Facebook. Platform ini dianggap sudah terlalu tua, lambat, dan
tidak relevan dengan gaya komunikasi cepat dan visual yang disukai Gen Z.
Sebagai gantinya, mereka lebih aktif di TikTok, Instagram, dan Snapchat yang
memberikan pengalaman interaktif dan ekspresif.
Namun, bukan berarti Facebook benar-benar ditinggalkan.
Dalam beberapa hal, seperti grup komunitas atau marketplace, Facebook masih
memiliki fungsi penting. Hanya saja, secara persepsi, platform ini tak lagi
menjadi tempat utama untuk bersosialisasi bagi Gen Z. Pergeseran ini menjadi
tantangan besar bagi Meta untuk tetap relevan di mata generasi muda.
Fenomena FOMO: Takut Ketinggalan Berita dan Tren
Perasaan takut tertinggal dari tren atau informasi terbaru,
atau yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO), menjadi
bagian dari dinamika kehidupan digital saat ini. Di tengah banjir informasi,
banyak orang merasa tertekan untuk terus update dengan apa yang terjadi, baik
itu berita politik, tren fesyen, maupun perkembangan di media sosial.
FOMO bukan hanya berdampak pada psikologis, tapi juga pada
perilaku konsumsi informasi. Orang-orang cenderung membuka media sosial atau
portal berita secara berulang hanya untuk memastikan mereka tidak tertinggal
dari yang lain. Ini bisa berdampak pada kecemasan, kurangnya fokus, dan
kelelahan mental.
Untuk mengatasi FOMO, penting bagi individu untuk menyadari
bahwa tidak semua informasi perlu dikonsumsi. Praktik digital minimalism,
seperti membatasi waktu layar dan memilih sumber informasi yang kredibel, bisa
menjadi solusi agar tetap terinformasi tanpa kehilangan kendali atas kesehatan
mental.
"Tone Deaf" dalam Dunia Politik:
Ketidaksensitifan yang Berbahaya
Dalam konteks politik dan sosial, istilah tone deaf
semakin sering digunakan untuk menggambarkan para pemimpin atau institusi yang
tidak peka terhadap suara publik. Istilah ini menggambarkan kondisi ketika
seseorang gagal memahami atau merespons dengan tepat perasaan, kebutuhan, atau
kekhawatiran masyarakat.
Contoh nyata dari perilaku tone deaf bisa terlihat
ketika pejabat publik memberikan pernyataan atau membuat kebijakan yang
terkesan mengabaikan realitas di lapangan. Hal ini bisa menciptakan jarak
antara pemerintah dan rakyat, serta memicu ketidakpercayaan.
Di era media sosial, di mana opini publik bisa menyebar luas
dengan cepat, ketidaksensitifan semacam ini bisa menjadi bumerang. Oleh karena
itu, penting bagi pemimpin untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga memahami
dan merespons dengan empati terhadap kebutuhan warganya.
RUU TNI: Antara Reformasi dan Kontroversi
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI)
yang disahkan pada Maret 2025 menjadi salah satu isu politik paling hangat.
Beberapa pasal dalam revisi tersebut menuai kritik karena dianggap membuka
peluang keterlibatan militer dalam urusan sipil dan politik, yang dapat
mengancam prinsip demokrasi.
RUU ini, menurut para pengamat, berisiko mengaburkan batas
antara kekuasaan sipil dan militer. Hal ini tentu mengundang kekhawatiran
karena reformasi pasca-Orde Baru telah menegaskan pentingnya supremasi sipil
atas militer. Kembali membuka ruang bagi militer di ranah sipil bisa menjadi
langkah mundur dalam proses demokratisasi Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa revisi ini
diperlukan untuk menyesuaikan peran TNI dalam menghadapi tantangan
non-tradisional seperti terorisme, bencana alam, dan keamanan siber. Namun,
tanpa pengawasan yang kuat, perubahan ini bisa disalahgunakan.
Kesimpulan: Dinamika yang Terus Bergerak
Apa yang dibahas oleh koranpagi dalam
artikel-artikelnya mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat yang terus
bergerak: dari pilihan gaya hidup, perubahan perilaku media, hingga isu-isu
politik yang memerlukan perhatian kritis. Semuanya saling terhubung, membentuk
lanskap sosial yang kompleks dan terus berkembang.
Kita hidup di era di mana informasi begitu mudah diakses,
tetapi juga menuntut kita untuk lebih selektif, sadar, dan aktif dalam
menyaring serta memahami setiap isu. Baik itu memilih menjadi vegetarian,
mengikuti tren mode yang lebih bijak, atau menyikapi perkembangan politik
secara kritis—semuanya adalah bentuk dari keterlibatan kita sebagai warga dunia
yang bertanggung jawab.