-->

Type something and hit enter

Curhatan saat Mengenyam Pendidikan Di Negeriku - Di negeriku, anak-anak dididik dengan alat yang sama, sikap yang sama, dan ukuran yang sama. Padahal mereka adalah manusia yang berbeda. Ukurannya berbeda, sikapnya berbeda, bahkan kemampuannya berbeda-beda. Oleh sebab itu, seringkali penulis merasa miris melihat sistem pendidikan di negeri ini.

Inilah ceritaku di negeri ini...

Taman Kanak-kanak 

Aku adalah mantan siswa TK, SD, SMP, dan SMA. Dari beberapa tingkatan lembaga yang aku jalani yang sangat kurasakan ialah ketika TK dan SD. Disana aku diajarkan semua dasar ilmu pengetahuan. Ketika pikiranku mulai berkembang, dan bakatku mulai terlihat mata.

Curhatan saat Mengenyam Pendidikan Di Negeriku


Semasa taman kanak-kanak aku diajarkan bagaimana caranya menulis, bagaimana caranya mewarnai, bagaimana caranya bernyanyi, dan bagaimana caranya menyimak. Dan jam sekolahku 3 sampai 4 jam. Aku disuruh duduk dengan tenang, rapi dan hikmat. Duh, padahal waktu itu aku masih sangat senang bermain.
Jadi, semasa itu aku yang disuruh duduk tenang, rapi, dan hikmat, namun tetap tidak bisa aku lakukan (karena aku adalah anak yang hipperaktif katanya). Sehingga, aku menjadi bringas, menaiki bangku, mengganggu teman, dan mengganggu ibu guruku. Karena ku pikir aku masih anak kecil, semua orang dewasa tak kan memarahiku. Kalaupun aku dimarahi, aku akan menangis, dan saat aku menangis mereka akan memeberikanku permen atau semacam lampu merah (Seperti mencubitku) untukku agar tak menangis lagi.

Ah, pikirku, orang dewasa itu mudah tersentuh hatinya. Atau memang mereka tak suka dengan suara tangisanku yang keras dan dapat memusingkannya. Ah, aku tak urus itu, semua itu urusan orang dewasa. Dan kusimpulkan pada waktu itu, aku menjadi manusia yang menang. Karena telah berhasil mengecoh orang dewasa, yang tubuhnya besar, yang pikirannya sudah sarjana.

Hahaha, begitu seru bukan, waktu semasa kecilku. Waktu itu aku menjadi juara kelas namun tetap kalah dengan temanku yang bintang pelajar, intinya aku juara, tapi nomer 2, hahaha. Karena aku tak setenang temanku, dan tak sehikmat temanku ketika belajar. Jadi, meskipun aku pintarnya sama dengannya. Namun, guruku melihatnya aku lebih nakal darinya. Dan tak pantas meraih juara kelas atau bintang kelas. Ah, bagiku itu tak penting. Karena yang ku tau, kebahagiaanku adalah segala-galanya. Meskipun begitu, aku terkadang iri kepada temanku ketika dia dipanggil dan disanjung oleh guruku, serta dimanjakan olehnya. Hahahaha, munafiknya diriku...

Semasa taman kanak-kanak aku sering ditanyakan tentang cita-citaku. Aku bingung kepalang waktu itu. Aku tak punya cita-cita. Bagiku, cita-citaku adalah bagaimana aku bisa bermain dengan temanku esok. Dan aku siap menang bermain dengannya. Seperti bermain peta kumpet. Bagaimana caranya aku tak bisa ditemukan temenku. Itu saja keinginanku. Masa depan kulihat hanya tentang bermain saja. Tak ada yang lebih menarik darinya bagiku. Aneh bukan, padahal aku dengan orang tuaku dan guruku dipaksa bercita-cita.

Karena waktu itu aku terdesak disuruh menyebutkan cita-citaku. “Ayo sebutkan cita-citamu yang ketika aku menjadi pilot aku akan sering di udara, dan bagiku itu tinggi sekali. Hahaha... ketika aku selesai menyebutkan cita-citak,u guruku melanjutkan bertanya kepada anak didik yang lain sampai selesai semuanya menjawab. Dan turunlah aku dari panggung penyebutan cita-cita itu. Ketika aku turun dari panggung itu aku merasa menyesal, mengapa aku bercita-cita jadi pilot ya. Bukankah tubuhku pendek, sedangkan pilot itu harus tinggi. Hahahaha... Ah, kecewalah aku pada waktu itu.

Ku pikir pada waktu itu guruku lah yang menjadi penyebabnya mengapa aku sampai salah menyebutkan cita-cita. Hahaha...

Begitulah aku semasa Taman kanak-kanak....

Sekolah Dasar

Selanjutnya, aku melanjutkan sekolahku ke tingkat yang lebih tinggi, katanya. Tapi menurutku, itu sama saja. 6 tahun aku diajarkan disana, aku merasa guruku tak berbeda. Guru kelas satuku adalah guruku kelas 2, 3, 4, 5, dan 6. Pelajaranku pun begitu, sama. Ada 12 mata pelajaran. Waktu itu, ku kira aku seperti orang pacaran. Menjajaki satu persatu mata pelajaran. Jika aku berbakat dan cocok dengan satu atau dua mata pelajaran. Mungkin itulah aku jadinya nanti ketika dewasa.

Kalau kata ‘Once; Vokalis band Dewa’ yang menyanyikan lagu “Kudaki gunung tertinggi, hanya untuk mencari dimana dirimu” mungkin itulah aku pada saat itu. Mencari bakatku yang terpendam. Ku jajaki semua mata pelajaran itu satu-demi-satu. Namun, ketika aku menjajaki satu persatu pelajaran, diriku tak pernah serius. Aku merasa aku masih asik bermain. Penjajakanku masih maen-maen waktu itu. Ah, bodohnya diriku...

Ada juga temanku yang sama denganku. Ia merasa, pelajaran itu tak asik jika tak ada suara gendang, atau pukulan dari bangku yang seperti drum baginya. Sehingga, tak jarang ia memukul-mukulkan bangku bak drum yang dipukulnya. Sambil bernyanyi lagu peterpan; Di atas Normal, “pikiranku, tak dapat ku mengerti, kaki di kepala, kepla di kaki” hahahaha... sambil tertawa-dengan-teman sebangkunya.

Ketika sedang asik bernyanyi, terbanglah kapur dan penghapus papan ke arahnya. Guruku menimpuknya, hingga kena ke mukanya, putih semua bak dibedaki. Awalnya merekalah yang bersenang-senang bernyanyi. Tapi, kemudian kamilah yang tertawa bersama, karena melihat adegan lucu dari guru dan murid. Hahahaha
Itulah kenanganku semasa Sekolah di tingkat Dasar itu. Duh, kenapa cuman peristiwa itu yang kau ingat ya. Pelajarannya bagaimana? Hahahaha, mungkin kalau pelajaran sedikit sekali yang kuingat. 6 tahun belajar, yang ku ingat, pelajaran IPA, bagaiamana proses terjadinya huja. Itu saja. hahahaha... untuk matematika bagaiamana, aku hanya ingat tambahan, pengurangan, dan perkalian. Pembagian aku tak ingat pada waktu itu.

Hanya itu... iyalah hanya itu, tak banyak... karena aku tak cocok dengan gurunya... aku cocok dengan pelajarannya tapi, gurunya aku tak cocok. Akhirnya, jodohku belum ketemu pada waktu itu. Penjajakan di tingkat SD gagal. Karena banyak pelajaran yang membingungkan. Dan kami disuruh diam dan hanya mendengarkan.

Sekolah Menengah Pertama

Setelah itu, aku melanjutkan sekolahku ke tingkat yang lebih tinggi, katanya yang bernama SMP. Anehnya, aku masih di tempatkan di ruangan yang sama seperti SD, dengan materi dasar yang sama, dan sistem pendidikan yang sama. Padahal waktu itu aku adalah anak didik yang rajin menulis yang rajin memecahkan permasalahan, bahkan aku sangat suka dengan ilmu pengetahuan yang berupa ilmiah.

Selama SMP aku tetap diajarkan beberapa mata pelajaran yang sebenarnya tidak aku senangi. Tentu ketika aku  tidak menyukainya aku merasa tertekan. Terkadang aku main dengan teman sebangkuku. Dan tidak mendengarkan guru-guru saat menjelaskan. Karena aku tidak tertarik dengan itu semua. Bahkan aku keluar kelas dan memilih di kamar mandi atau di ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah; singkatan kataku) tercinta.
Tapi, ketika aku belajar dengan pelajaran yang aku senangi yaitu Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Indonesia yang memberikanku pengalaman bagaimana menulis dan berfikir bahwa alam ini menakjubkan. Aku pun duduk paling depan, aku serius memperhatikannya. Sampai-sampai aku lupa bahwa waktu pelajaran itu telah usai. Dan aku merasa kecewa dengan waktu yang sedikit itu. Aku merasa kekurangan dengan waktuku.

Selesai aku di tingkat SMP, aku belum menjadi apa-apa, aku tetaplah aku, seperti anak biasanya. Tanpa minat dan tanpa bakat “kata pendidikan di negeriku”. Aku hanyalah anak yang tidak mengetahui 10 mata pelajaran. Dan hanya tinggi di 2 mata pelajaran. Ah, aku merasa aneh sendiri, aku merasa bodoh sendiri.

Sekolah Menengah Atas

Ketika aku telah usai di tingkat SMP, aku beranjak maju melanjutkan pendidikanku di tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu SMA. Pada saat itu, bagiku begitu sulitnya mencari sekolah yang Berstandard Nasional atau bertaraf go Internasional . oh, anehnya diriku, dan bodohnya diriku. Sampai-sampai sekolahan tak menerima diriku. Akhirnya aku masuk di SMA yang biasa-biasa saja. Kata orang SMA yang kutempati merupakan SMA tempat pembuangan. Iya, pembuangan, pembuangan dari sekolah yang katanya berstandard Nasional, dan tak menerima anak sepertiku, yang hanya tinggi nilainya di 2 bidang mata pelajaran saja.

Ah, bagiku itu sama saja. semua sekolahkan sama. Anak didik diajarkan tentang materi yang sama, dengan sistem yang sama. Mungkin bedanya adalah fasilitasnya saja. Fasilitas disekolahku tak lengkap peralatannya, dan terkadang kami kekurangan bangku dan tempat kursi karena hilang dimakan rayap. Atau hilang karena dibuat anak-didik sebagai kursi tempat tongkrongan. Hahaha

Semasa SMA aku tetap menjadi aku, belum ada bakat-dan-minat pada diriku. Seolah-olah terpendam oleh sistem pendidikan, yang mengharuskan 12 mata pelajaran bisa aku kerjakan. Duh, 12 tahun belajar, aku tetap begini-begini saja.

Sedangkan temanku yang tak sekolah dan melanjutkan ke SMA, iya sekarang menjadi pengusaha sukses, menjadi pengusaha. Atau coba ku tengok hari ini menteriku Susi, menteri perikanan. Ia menjadi pengusaha sukses di luar negeri. Dan sedangkan aku dan teman-temanku yang sekolah hany jadi pegawai, kalau tak pegawai pemerintahan, ya pegawai lembaga swasta. Ah, sekolah 12 tahun hanya ingin menjadi pegawai swasta.

Tapi, kata temanku, menteri susi dan temanku yang sukses itu hanyalah segelintir saja dari mereka yang sukses tanpa sekolah. Hahaha.... ijazah SMA ku hanya ada dua pilihan digunakan sebagai syarat melanjutkan kuliah atau dijadikan syarat melamar pekerjaan di toko frensces atau jadi karyawan rokok, atau jadi satpam karena tubuhnya besar, atau jadi pegawai pom bensin. Hahahaha... 12 tahun hanya untuk pekerjaan itu... dan ketika bekerja kita haru melakukan 3S; Salam, Senyum, Sapa...
Hahaha....

Kesimpulannya

Inilah negeriku dengan sistem pendidikannya yang membuatku tertawa terjingkal-jungkal. Asik rasanya membahas pendidikan di negeriku yang ngeri. Ngeri, karena pendidikannya tak menekankan kepada cipta karya dan kerjasama. Sehingga, hasil dari pendidikannya cenderung kepada materi yang dicapainya. Bukan cipta karya yang dimilikinya. Sehingga mereka tidak menjadi kaya sementara. Tapi kaya selama-lamanya.
Hahaha, ....

Sok taunya diriku tentang pendidikan, padahal tak bisa memberikan solusi pada sistem pendidikan yang jelas. Hanya bisa berkomentar pedas. Dan hanya memberikan alasan yang logis dan lugas. Tapi, setidaknya aku tak terkungkung oleh pemerintah. Dan berkarya sesuai yang kumau. Dihargai yang bersyukur. Tak dihargai, tak mungkin aku mengamuk. Hahahaha...

Karena tujuanku bercerita yaitu untuk memberikan wawasan kepada dunia pendidikan yang cenderung monoton tak ada perubahan. Perubahan hanya pada bingkainya saja, ibarat orang, perubahannya bukan pada bentuk sikap dan karakternya. Akan tetapi perubahannya pada perhiasan yang dipakainya.
Kalau pendidikan dulu menggunakan alat papan tulis sebagai medianya. Saat ini telah canggih menggunakan layar besar atau yang seringkali disebut dengan proyektor. Kalau pendidikan dulu guru tanpa RPP, saat ini menggunakan RPP, yang tekesan lebih terencana, dan terjadwal. Kalau dulu pendidikan memakai bangku dan kursi. Saat ini keduanya telah gabung menjadi satu. Kursi yang multifungsi sebagai meja juga.
Hahahaha...

Terimakasih atas kunjungan ke website kami CampusKampus.com , silahkan bagikan jika bermanfaat....

1 komentar:

avatar

Hampir tidak sama,,,hehehe, dan saya juga tidak pernah mersakan juara, tapi dalam hati kecil ingin sekali seperti teman ku, yang menjadi bintang kelas sekaligus kebangaan guru.

Click to comment